Merawat Mimpi

Tiada menyangka saya telah hadir di sebuah hutan yang setahun terakhir saya me-mimpi-kannya. Di penghujung tahun 2011 saya telah membuat rencana kecil untuk melakukan pendakian gunung Bawakaraeng yang familiar di telinga masyrakat Sulsel. Memang saya bukanlah seorang pecinta alam yang tergabung dalam sebuah wadah atau komunitas. Saya independen. Melakukan sebuah perjalanan atau pendakian bukan untuk sebuah tujuan, murni hanya untuk melakukan perjalanan. 

Keinginan mendaki gunung Bawakaraeng tak mewujud. Berselang tiga bulan kemudian setelah rencana itu, nyatanya saya telah berada di puncak perbukitan daerah perbatasan Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Barru. Pendakian yang tak terlupakan sekaligus pendakian yang tak terencanakan. Hari itu, saya dan beberapa kawan hanya berniat mengobservasi sebuah kawasan perkemahan di lereng hutan lindung pemerintah Pangkep. Intinya, kami tersesat dan itu menyenangkan. Sedikitpun saya tak menyesalkan kejadian itu. Saya merasakan sensasi mendaki gunung yang telah lama mengendap di relung memori jaman SMA. Hari itu, saya seolah kembali ke masa lalu. Lelah dan belelah-lelah. Apalagi hujan mengguyur deras. Seluruh tubuh seketika dingin tanpa perlawanan.


Hutan lindung yang saya maksud tadi adalah Hutan Tabo-Tabo milik pemerintah Pangkep. Berbatasan langsung dengan daerah teritorial Kabupaten Barru. Di pinggiran hutan itulah kami berencana melakukan perkemahan yang bernuansa orientasi. Tepatnya orientasi anggota baru di organisasi saya.

Merawat mimpi memang tak mudah. Butuh konsistensi dan militansi. Bila jiwa kita adalah jiwa pemimpi sangat penting untuk tidak mengandalkan keberuntungan. Keberuntungan hanyalah 5% dari sebuah kenyataan yang kita rencanakan. Selebihnya adalah keutuhan sebuah tekad untuk mewujudkan mimpi. 

Serupa dengan keinginan mendaki gunung tadi. Keinginan itu lahir dari ketidakpuasan saya saat tengah berada di jalur pendakian menuju Gunung Semeru di daerah Lumajang Jawa Timur. Hari itu saya tengah berada di Ranupane, pos pertama menuju Gunung Mahameru sebutan lain Gunung Semeru. 


Waktu yang membuat saya berhenti. Berhenti melakukan perjalanan menuju gunung terindah itu. Jika saja waktu itu hanya ada saya sendiri, saya akan mendaki dan memikirkan waktu. Saya hanya sempat mengambil gambar dengan background Gunung Semeru yang tangguh itu. Itupun harus saya lakukan sepagi mungkin untuk menyaksikan gunung itu nampak bersama dengan horison yang di bawa oleh cahaya mentari. Saya berjuang. Melakukan pendakian ringan. Mengabaikan dinginnya suhu pagi di desa tertinggi di Indonesia itu. Kalau tak salah mengingat Desa Ranupani berada di ketinggian 2300-an meter dpl. 

Itulah waktu, seolah melaju terlalu cepat. Membuat kita berhenti melangkah karena time up. Saya pulang dari Ranupani membawa segumpal hasrat besar pendakian gunung. Saya membidik Gunung Bawakaraeng, namun akhirnya hanya sampai di Hutan Tabo-Tabo Pangkep. Tapi, saya meyakini. Pendakian berjam-jam di Hutan Tabo-Tabo bukanlah sebuah kebetulan, apalagi keberuntungan . Saya menganggap perjalanan itu adalah sebuah jalan yang telah saya pilih untuk menuju sebuah pendakian. Bukankah kita semua bertindak dengan opsi-opsi yang timbul tenggelam di wajah pikiran kita.
0 Responses

Posting Komentar

abcs