Jadi Penceramah


Waktu semakin gesit saja melaju. Padahal dia selalu konstan. Manusialah yang terlalu lambat. Prinsip ini mematuhi hukum fisika. Ramadhan menyusut. Ramadhan ini adalah ramadhan ke-enam yang telah saya lalui di Makassar. Ramadhan yang mendewasakan, ramadhan yang selalu mengajarkan nilai-nilai ketakwaan. 
Sudah menjadi kelaziman, saya baru akan pulang bila menjelang hari raya. Kebiasaan itu telah saya lakukan sejak enam tahun terakhir. Banyak hal yang melansir kebiasaan itu, salah satu faktanya adalah bila saya terlalu cepat pulang, maka otomatis saya akan dapat jadwal mengisi acara masjid di kampung. Kadang-kadang, bila saya mengiyakan saya akan mencoba member ceramah di depan banyak umat muslim itu.

Sensasi Anak Sains

Saya tak seutuh hati hadir di sesi ini sebenarnya. Saya menyimpan “rasa”. Kalau bukan karena Salim yang datang menjemput, saya tak akan berusaha untuk ada disana.

Nyatanya, dugaan akan sangat jauh berbeda dengan kejadian di lapangan. Yang hadir di acara buka puasa bersama ini lumayan ramai. Kami berhasil mengubrak abrik beranda Mc Donald’s Alauddin.

Walau kami berbuka agak terlambat, itu bukan masalah. Nyaris saja kami bergeser beberapa ratus meter ke tempat makan cepat saji lainnya. KFC Alauddin hanya berkisar 300 meter dari lokasi kami dan Pizza Hut Alauddin sekitar 50 meter dari KFC. Tidak masalah sebenarnya dengan ini. Melihat orang antri adalah penyebabnya, sementara waktu berbuka telah masuk.

Merawat Mimpi

Tiada menyangka saya telah hadir di sebuah hutan yang setahun terakhir saya me-mimpi-kannya. Di penghujung tahun 2011 saya telah membuat rencana kecil untuk melakukan pendakian gunung Bawakaraeng yang familiar di telinga masyrakat Sulsel. Memang saya bukanlah seorang pecinta alam yang tergabung dalam sebuah wadah atau komunitas. Saya independen. Melakukan sebuah perjalanan atau pendakian bukan untuk sebuah tujuan, murni hanya untuk melakukan perjalanan. 

Keinginan mendaki gunung Bawakaraeng tak mewujud. Berselang tiga bulan kemudian setelah rencana itu, nyatanya saya telah berada di puncak perbukitan daerah perbatasan Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Barru. Pendakian yang tak terlupakan sekaligus pendakian yang tak terencanakan. Hari itu, saya dan beberapa kawan hanya berniat mengobservasi sebuah kawasan perkemahan di lereng hutan lindung pemerintah Pangkep. Intinya, kami tersesat dan itu menyenangkan. Sedikitpun saya tak menyesalkan kejadian itu. Saya merasakan sensasi mendaki gunung yang telah lama mengendap di relung memori jaman SMA. Hari itu, saya seolah kembali ke masa lalu. Lelah dan belelah-lelah. Apalagi hujan mengguyur deras. Seluruh tubuh seketika dingin tanpa perlawanan.

Undefined

Suatu malam saya menjadi sangat gelisah, ribuan imajinasi menggelantung di pelupuk mata saya. Sudah jam 3 pagi, dan saya sudah berbaring kurang lebih 3 jam di alas tidur. Hasilnya mata terpejam, sedang fikir melihat kelam. Saya betul-betul gelisah.

Malam itu saya tak pernah merasa alam bawah sadar saya beraksi hingga adzan subuh terdengar tegas memanggil dari masjid. Saya tak menjumpai gelombang beta menidurkan imajinasi. Setelah subuh yang masih menyisa dingin itu, saya enggan tertidur.

Bayangan itu ternyata adalah ketakutan, imajinasi itu adalah kesepian yang mengancam, kelam itu ternyata adalah harapan yang tersandera. Malam itu, benar-benar saya tak mampu "mengandai".

Kebebasan saya menjadi sebuah omong kosong. Hak asasi saya terbelenggu oleh ilusi. Itulah kegelisahan.

Hingga pagi menyerbu gelap yang tersisa di sudut ruang, saya masih terbaring "gelisah". Tak ada definisi untuk kejadian itu. Ingatan membuatnya terkunci rapat dalam ruang memori. Semuanya telah terjadi, dan jangan menyesal!

Kisah Tak Berdrama



*****

Suatu waktu aku duduk menyilang di jumat berkah mencoba meraba diriku dengan tegun. Menunduk saat menatap diri mencari titik tumpuh. Di surau itu aku melemah tak mampu kuat. Dulu saat aku tak punya mimpi tak pernah aku bergolak batin sekeras ini. Akhirnya aku harus hidup terlantar, mengelana bersama banyak kebiasaan buruk.

Aku belum sampai pada sebuah keputusan untuk berpindah. Jalan ini belum berderang dan aku butuh lilin penerang untuk melangkah. Di tempat ini kudapat mengingat mati. Di usia muda penuh misteri tak banyak cara membela diri. Kecuali kembali ke surau itu menengadakan kepalaku. Meminta keteguhan.

Mungkin Jumat telah berlalu, tapi aku belum maju. Beberapa saat otakku kudiamkan. Hatikulah yang berinteraksi dengan dengan sejuta firasat. Aku masih diselimuti banyak tanya “dimana aku menyimpan kaki dan tangan ini?”

*****
abcs